Rabu, 09 Agustus 2017

MAKALAH EKONOMI ISLAM

MAKALAH EKONOMI ISLAM


Download Makalah Disini

Ingat Makalah yang kami Share hanya sebagai Referensi Saja. Silahkan anda cari Refensi di Sumber Lain.

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar belakang masalah

Ekonomi merupakan salah satu hal yang erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat. Sebab, salah satu upaya masyarakat agar dapat memenuhi kebutuhan dan mempertahankan kelangsungan hidupnya ialah dengan melakukan aktifitas yang dilakukan dalam bidang perekonomian.
Ekonomi itu sendiri ialah salah satu ilmu sosial yang mempelajari aktifitas manusia yang berhubungan dengan produksi, distribusi dan konsumsi terhadap barang dan jasa. Oleh karena itu, hampir sebagian masyarakat menjalankan aktifitas ekonomi dengan cara berdagang atau memproduksi barang dan jasa. Namun, melihat perkembangan zaman sekarang ini, perekonomian dirasa cukup mengkhawatirkan, terlebih hal tersebut berhubungan dengan  perekonomian yang bersifat konvensional, dimana sering terjadinya aktifitas yang tidak saling menguntungkan, seperti adanya unsur riba, ataupun sebagainya. Karena itu, untuk mengatasi masalah tersebut, kita disarankan untuk berpindah dari ekonomi konvensional menjadi ekonomi islam.
Namun, untuk berpindah aktifitas dari ekonomi konvensional menjadi ekonomi islam. Adakalanya kita di wajibkan mengetahui ruang lingkup dari ekonomi islam itu sendiri, termasuk didalamnya mengenai dalil dan metode apa yang digunakan dalam menentukan hukum ekonomi islam. Sehingga, kita dapat lebih mengetahui dengan jelas segala sesuatu yang berkaitan dengan ekonomi Islam.
Untuk itu, penulis bermaksud untuk membuat makalah yang bejudul “Dalil dan metode dalam penggalian hukum ekonomi Islam”. Yang mudah-mudahan dapat menambah wawasan bagi para pembaca.


A.Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian Ekonomi Islam?
2.    Apa saja dalil dalam penggalian hukum ekonomi Islam?
3.    Apa saja metode dalam penggalian hukum ekonomi Islam?

B. Tujuan penulisan
1.    Mengetahui pengertian ekonomi Islam
2.    Mengetahui dalil dalam penggalian hukum ekonomi Islam
3.    Mengetahui metode dalam penggalian hukum ekonomi Islam.



BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ekonomi Islam
Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam.
Sedangkan menurut sebagian para ahli seperti :
 S.M Hasanuzzaman, ekonomi Islam adalah pengetahuan dan aplikasi ajaran-ajaran dan aturan-aturan syari’ah yang mencegah ketidakadilan dalam pencarian dan pengeluaran sumber-sumber daya, guna memberikan kepuasan bagi manusia dan memungkinkan mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka terhadap Allah dan masyarakat.
M.A Mannan, ekonomi Islam adalah suatu ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari permasalahan ekonomi dari orang-orang yang memiliki nilai-nilai Islam.
Dengan demikian, ekonomi Islam ialah suatu ilmu yang mempelajari seluruh ruang lingkup yang berkaitan dengan perekonomian berdasarkan aturan dan kaidah-kaidah yang ditentukan oleh ajaran Islam.
B. Dalil dalam penggalian hukum ekonomi Islam
Berikut ini merupakan postulat-postulat (dalil) yang secara metodologis menjadi prinsip-prinsip dan prediksi atas berbagai gejala ekonomi untuk menetapkan suatu hukum dalam sistem ekonomi Islam.
1.    Langit dan bumi adalah milik Allah (Q.S. Al-Baqarah: 284; Q.S Ali-Imran: 109, 129, 180, dan 189; Q.S An-Nisa: 131 dan 132; Q.S Al-Maidah: 17, 18, dan 120; Q.S Al-An’am: 12; Q.S At-Taubah: 116; Q.S Yunus: 68; Q.S Ibrahim: 23). Hak milik yang diperoleh manusia adalah hak relatif, sedangkan hak milik mutlak hanya ada pada Tuhan melalui intuisi duniawi yang mencerminkan pemegang hak Allah yakni negara dan pemerintah. Dengan demikian, pemerintah berhak mengatur lalu lintas status kepemilikan atas tanah, baik dalam bentuk hak milik, maupun hak guna pakai, hak guna bangunan, dan sebagainya.
2.    Allah menciptakan langit dan bumi, bulan dan matahari, daratan dan lautan, gunung, angin, burung-burung, untuk memenuhi keperluan hidup manusia. (Q.S Ibrahim: 32-33; Q.S An-Nahl: 12 dan 14; Q.S Al-Hajj: 65; Q.S Luqman: 29-30; Q.S. Az-Zukhruf: 1; Q.S Al-Jatsiyah: 12-13; Q.S Al-Anbiya: 79; Q.S Shad: 18). Pada dasarnya, samua keperluan manusia telah disediakan Tuhan, tetapi kecerdasan itu berserakan di muka bumi sehingga terjadi kelangkaan atau minus barang dan jasa di suatu tempat dan surplus di tempat lain. Dengan demikian, terbukalah pertumbuhan ekonomi dan perdagangan yang mendinamisasikan dan memobilisasikan kehidupan umat manusia yang saling memerlukan antara satu dan lainnya. Harga barang dan jasa mengikuti hukum suplai dan kebutuhan atas barang dan jasa.
3.    Memperoleh harta melalui perniagaan dengan saling merekan, tidak dengan cara yang bathil, mencatat utang piutang dan jatuh temponya serta akuntabilitas, jujur dalam berusaha, dan menghindari jual beli gharar, riba dan maysir (Q.S An-Nisa:29). Segala bentuk usaha, baik yang dilakukan secara individual maupun kolektif, seperti lembaga dan atau institusi pemerintahan, mesti dapat dipertanggungjawabkan atau memenuhi persyaratan akuntabilitas. dengan demikian, setiap kegiatan perniagaan harus mendapat kepercayaan masyarakat dan negara untuk meraih kualitas bay’mabrur, antara lain dengan bantuan ilmu akuntansi untuk menjamin akuntabilitasnya.
4.    Harta tidak boleh hanya beredar diantara orang kaya (Q.S Al-Jasiyah: 7). Pengaturan dan regulasi distribusi barang dan jasa merupakan bagian dari tugas institusi pemerintahan dan negara dalam rangka memakmurkan dan menyejahterakan rakyat secara adil.
5.    Orang miskin mempunyai hak atas harta orang kaya (infak dan, atau sedekah) (Q.S. Al-An’am: 141; Q.S. Al-Isra: 26; Q.S Ar-Rum: 38). Kalimat perintah (fiil amr) dalam ayat-ayat tersebut mengindikasikan bahwa pengelolaan harta yang menjadi hak orang miskin yang ada pada orang kaya harus dilakukan oleh institusi negara dan pemerintahan.
6.    Pada dasarnya segala bentuk transaksi dibolehkan, kecuali yang secara tegas dan tekstual diharamkan. Kaidah hukum Islam menyatakan, al-asl fi al-muamalat al-ibahat illa ma dalla al-dalil’ala tahrimih.
7.    Jual beli adalah halal, sedangkan riba adalah haram. Infak dan sedekah ditumbuhkan, sedangkan riba dimusnahkan (Q.S. Al-Baqarah: 275-278; Q.S. Ali-Imran: 130; Q.S. Ar-Rum: 39)
8.    Negara dan pemerintah mempunyai hak pengendalian pengawasan distribusi barang dan jasa, mekanisme pasar, dan melarang monopoli.
C. Metode dalam penggalian hukum ekonomi Islam
Metode pengambilan hukum dalam ekonomi Islam melalui ushul fiqh, yaitu berdasarkan pada Al-quran, Sunnah, ijma, qiyas, istihsan, istishab, maslahah mursalah, urf, sad adz-dzariah dan fath adz-dzariah. Yang dirinci sebagai berikut:
1.   Al-quran
Ditinjau dari bahasa, Al Qur'an berasal dari bahasa arab, yaitu bentuk jamak dari kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a - yaqra'u - qur'anan yang berarti bacaan atau sesuatu yang dibaca berulang-ulang. Konsep pemakaian kata tersebut dapat dijumpai pada salah satu surah al Qur'an yaitu pada surat al Qiyamah ayat 17 - 18.
Secara istilah Al-quran adalah kalam Allah yang diturunkan oleh-Nya melalui perantara malaikat jibril kepada Rasulullah SAW yang mutawatir untuk dijadikan pedoman hidup bagi seluruh manusia. Penyusunan ayat-ayat dalam Al-quran menurut pendapat para ulama adalah tawqify (langsung dari Allah) bukan ijtihady (ijtihad ulama). Adapun hukum yang terkandung dalam Al-quran mencakup tiga macam, yaitu hukum aqidah, hukum amaliyah/syariah dan akhlak. Secara keseluruhan ajaran tentang ekonomi Islam dalam Al-quran terdapat (kurang lebih) 370 ayat dan 70 diantaranya berbicara tentang perdagangan dan perniagaan.
2.    Sunnah
Secarat etimologi (bahasa) Arab, kata As-Sunnah diambil dari kata-kata: “sanna-yasinnu-wayasunnu-sannaa fahuwa masnuunu wajam’uhu sunanu. wasanna al-amro aiy bayyanah”
a. Artinya: “Menerangkan”
b. Sunnah artinya: “Sirah, tabi’at, jalan”
c. Sunnah dari Allah artinya: “Hukum, perintah dan larangan-Nya.” [Al-Qamusul Muhith   (IV/231), Lisanul Arab (VI/399-400) dan Mukhtaarush Shihaah (hal. 317).]
Secara istilah sunnah adalah perkataan, perbuatan dan ketetapan Rasulullah SAW. Adapun sunnah Rasulullah SAW terbagi menjadi:
1.  Al-sunnah al-qawliyyah (ucapan), yaitu hadits Rasulullah SAW yang diucapkannya dalam berbagai tujuan dan situasi.
2. Al-sunnah al-fi’liyyah (perbuatan), yaitu perbuatan Rasulullah SAW, seperti melakukan shalat dengan tatacaranya dan rukunnya.
3. Al-sunnah al-taqririyyah (perbuatan), yaitu perbuatan sebagian sahabat Rasulullah SAW yang telah diikrarkan olehnya, baik perbuatan maupun ucapan.
Hubungan sunnah dengan Al-quran adakalanya sunnah mengukuhkan hukum yang ada dalam Al-quran, kadang merinci, menafsirkan hal yang terdapat dalam Al-quran.
3.   Ijma
Ijma adalah kesepakatan semua mujtahidin dikalangan umat Islam pada suatu masa, setelah kewafatan Rasulullah SAW atas suatu hukum syar’i mengenai suatu kejadian ataupun kasus. Ijma hanya ditetapkan setelah wafatnya Rasulullah SAW, karena ketika Beliau masih hidup, Beliau sendirilah tempat kembalinya hukum syariat. Sehingga tidak ada perselisihan mengenai hukum syariat pada saat itu.
4.   Qiyas
Qiyas adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nash-nya kepada kejadian lain yang ada nash-nya dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash. Dikarenakan adanya kesamaan dua kejadian dalam illat al-hukm. Contoh qiyas adalah hukum meminum arak dalam Al-quran adalah haram, karena terdapat dalam QS. Al-Maidah: 90. Adapun illat dalam pelarangan terhadap arak adalah memabukan. Maka dari itu, setiap minuman yang mengandung unsur yang memabukan (meskipun jenisnya berbeda dengan arak), maka hukumnya disamakan dengan arak, yaitu haram.
Illat merupakan ‘tujuan terdekat’ dan dapat dijadikan dasar dalam penetapan hukum, sedangkan hikmah merupakan ‘tujuan jauh’ yang tidak dapat dijadikan dasar bagi penetapan hukum, pernyataan ini dianut oleh jumhur ulama. Illat adalah suatu sifat tertentu yang jelas dan dapat diketahui secara objektif (zahir), dapat diketahui dengan jelas dan ada tolak ukurnya, sesuai dengan ketentuan hukum yang merupakan penentu suatu hukum. Adapun hikmah adalah suatu yang menjadi pendorong ditetapkannya suatu hukum dan merupakan tujuan akhirnya yakni maslahat yang menjadi maksud syariah.
5.  Istihsan
Istihsan merupakan upaya untuk men-tawaqqufkan prinsip-prinsip umum dalam satu nash disebabkan adanya nash yang lain. Adapun secara bahasa adalah menganggap baik sesuatu, sedangkan menurut istilah ulama ushul adalah berpindahnya seorang mustahid dari tuntutan qiyas jaly (qiyas yang nyata) kepada qiyas qhafy (qiyas yang samar), atau dari hukum yang kulli kepada hukum pengecualian. Misal yang paling sering dikemukakan adalah peristiwa ditinggalkannya hukum potong tangan bagi pencuri di zaman khalifah Umar bin Al-Khattab ra. Padahal seharusnya pencuri harus dipotong tangannya. Itu adalah suatu hukum asal. Namun kemudian hukum ini ditinggalkan kepada hukum lainnya, berupa tidak memotong tangan pencuri. Ini adalah hukum berikutnya, dengan suatu dalil tertentu yang menguatkannya. Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu pencuri harus dipotong tangannya. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain. Dalam hal ini, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu.
Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Al-Imam As-Syafi`i dan mazhabnya. Menurut mereka adalah menetapkan hukum hanya berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam Syafi`i berkata, "Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara` berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara` hanyalah Allah SWT." Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan, "Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka`bah, tanpa ada dalil syara` untuk menentukan arah Ka`bah itu."
 Namun kalau diteliti lebih dalam, ternyata pengertian istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi`i. Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi`i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak. Maka seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnyaAl-Muwâfaqât menyatakan, "orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara` dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara` yang umum."
Menurut madzhab Abu Hanifah, bila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka dengan menggunakan istihsan, yang termasuk diwaqafkan adalah hak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Sebab kalau menurut qiyas (jali), hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena tidak boleh mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli.
Para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan istihsan) seperti Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar: 18
الذين يستمعون القول فيتبعون احسنه .اولئك الذين هدهم الله . واولئك هم اولو الالباب
Artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal”. (QS. Az-Zumar: 18)
Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hambaNya yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.
واتبعوا احسن ما انزل اليكم من ربكم
Artinya: Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”….(QS. Az-Zumar :55)
Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan adalah hujjah.
Hadits Nabi saw:
مَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ.
Artinya:“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah adalah buruk pula”.
Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan Istihsan.
6.  Al-Maslahah Al-Mursalah
Kata mashlahah memiliki dua arti, yaitu: maslahah berarti manfaat baik yaitu sebagai masdar, maupun secara makna dan Maslahah fi’il (kata kerja) yang mengandung ash-Shalah yang bermakna an-naf’u. Dengan demikian, mashlahah jika melihat arti ini merupakan lawan kata dari mafsadah. Maslahat kadang-kadang disebut pula dengan (الاستصلاح) yang berarti mencari yang baik ( طلب الاصلاح).
Menurut istilah ulama ushul ada bermacam-macam ta`rif yang diberikan di antaranya:  Imam Ar-Razi mendefinisikan mashlahah yaitu  perbuatan yang bermanfaat yang telah ditujukan oleh syari’ (Allah) kepada hamba-Nya demi memelihara dan menjaga agama, jiwanya, akal, keturunan dan harta. Imam Al-Ghazali mendefinisikan sebagai berikut: Maslahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak madarat. Selanjutnya ia menegaskan, setiap perkara yang ada salah satu unsur dari maqashid as-syari’ah maka ia disebut mashlahah. Sebaliknya jika tidak ada salah satu unsur dari maqashid syariah, maka ia merupakan mafsadat, sedang mencegahnya adalah mashlahah.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpuan bahwa mashlahah mursalah merupakan suatu metode ijtihad dalam rangka menggali hukum (istinbath) Islam, namun tidak berdasarkan pada nash tertentu, namun berdasarkan kepada pendekatan maksud diturunkannya hukum syara’ (maqashid syariah). Kemaslahatan yang dimutlakan yang menurut ulama ushul adalah kemaslahatan dimana syar’i tidak mensyariatkan hukum untuk mewujudkan maslahah tersebut, akan tetapi tidak ada dalil yang menunjukan atas pengakuannya ataupun pembatalannya. Penetapan hukum Islam melalui pendekatan masqashid syariah merupakan salah satu bentuk pendekatan dalam menetapkan hukum syara’ selain melalui pendekatan kebahasaan yang sering digunakan oleh para ulama. Contohnya adalah karena kemaslahatan para sahabat Rasulullah SAW mensyariatkan pengadaan penjara, mencetak mata uang, ataupun maslahah lainnya yang dituntut oleh keadaan darurat yang bertujuan untuk kebutuhan atau kebaikan.
7.   Al-Urf
Secara etimologi ‘urf berarti “sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat”. Secara terminologi kata ‘urf mangandung makna:
“Sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya dalam bentuk setiap perbuatan yang populer di antara mereka, ataupun suatu kata yang biasa mereka kenal dengan pengertian tertentu, bukan dalam pengertian etimologi, dan ketika mendengar kata itu, mereka tidak memahaminya dalam pengertian lain.”
Istilah ‘urf dalam pengertian tersebut sama dengan pengertian istilah al-‘adah (adat istiadat). Adat adalah sesuatu yang telah mantap di dalam jiwa dari segi dapatnya diterima oleh akal yang sehat dan watak yang benar. Adat itu mencakup persoalan yang amat luas, yang menyangkut permasalahan pribadi, seperti kebiasaan seseorang dalam tidur, makan, dan mengkonsumsi jenis makanan tertentu, atau permasalahan yang menyangkut orang banyak, yaitu sesuatu yang berkaitan dengan hasil pemikiran yang baik dan yang buruk. Tetapi para ulama’ ushul fiqih membedakan antara adat dengan ‘urf dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara’. Menurut musthafa ahmad al-zarqa’ ( guru besar fiqh islam di universitas ‘amman, jordania), mengatakan bahwa ‘urf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari ‘urf. Contoh di satu masyarakat dalam melakukan jual beli kebutuhan ringan sehari-hari seperti garam, tomat, dan gula, dengan hanya menerima barang dan menyerahkan harga tanpa mengucapkan ijab dan qabul.
8.  Al-Istishab
Istishab menurut istilah ushul adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sehingga terdapat dalil yang menunjukan perubahan keadaan, atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau menjadi kekal menurut keadaan sampai terdapat dalil yang menunjukan atas perubahannya. Apabila ada mujtahidin ditanya tentang kontrak dan ia tidak menemukan dalil syara, maka dihukumi dengan kebolehan kontrak atau pengelolaan tersebut atas dasar bahwa semua muamalah adalah boleh kecuali ada dalil yang melarangnya.
9.  Sadd al-Dzari’ah dan Fath al-Dzari’ah   
Sadd al-Dzari’ah merupakan bentuk jamak dari sadd al-Dzara’i menurut al-Qarafi adalah memotong jalan kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Al-Syatibi menyatakan bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menolak sesuatu yang boleh (jaiz) agar tidak mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang. Contoh yang berkaitan ekonomi Islam adalah larangan mengiklankan produk minuman keras sebagai jalan untuk menutup konsumsi minuman keras.
Pembahasan Fath al-Dzari’ah kebalikan dari sadd adz-dzari’ah secara terminologi adalah penetapan suatu hukum yang merupakan sarana bagi penetapan hukum yang lainnya. Contohnya adalah jika menuntut ilmu suatu yang diwajibkan, maka usaha untuk mencapai tujuan tersebut menjadi wajib pula, seperti membangun infrastruktur yang mendukung sarana pendidikan, peralatan pendidikan. Contoh Fath al-Dzari’ah yang berkaitan dengan ekonomi Islam adalah menerapkan manajemen resiko pada berbagai macam lembaga keuangan syariah, dalam rangka untuk meminimalisasi resiko di masa depan.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Ekonomi Islam ialah suatu ilmu yang mempelajari seluruh ruang lingkup yang berkaitan dengan perekonomian berdasarkan aturan dan kaidah-kaidah yang ditentukan oleh ajaran Islam.
Adapun dalil yang digunakan dalam penggalian hukum ekonomi Islam ialah terdapat dalam beberapa surat dalam Al-Quran yang berkaitan dengan beberapa persoalan perekonomian.
Metode yang digunakan dalam penetapan hukum ekonomi Islam antara lain : berdasarkan pada Al-quran, Sunnah, ijma, qiyas, istihsan, istishab, maslahah mursalah, urf, sad adz-dzariah dan fath adz-dzariah



DAFTAR PUSTAKA

https://rahmatfauzi123.blogspot.co.id/
https://famyzone.blogspot.com/2013/04/pengertian-ekonomi-islam.html
https://islampeace.clubdiscussion.net/t13-pengertian-tujuan-prinsip-prinsip-ekonomi-islam
Prof. Dr. H. Juhaya S. Praja, M.A., Ekonomi Syari’ah  Bandung : Pustaka Setia. 2012


Keyword :